A. PENGERTIAN
STARATEGI INQUIRY / DISCOVERY
Pendahuluan
Tujuan pembangunan nasional
sebagaimana tercantum dalam GBHN adalah pembangunan manusia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Hal ini berarti bahwa pembangunan
tidak hanya mengejar kepuasan lahiriah saja seperti sandang, pangan, papan, dan
kesehatan saja ataupun mengejar kepuasan batiniah seperti pendidikan, rasa
aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab dan rasa keadilan
saja, melainkan antara pembangunan lahiriah dan batiniah tersebut haruslah
berjalan seiring secara serasi.
Untuk mewujudkan tujuan pembangunan
nasional seperti yang tercantum di atas, maka sudah barang tentu akan sangat
diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam hal ini pendidikan
merupakan salah satu sarana untuk menciptakan sumber daya – sumber daya manusia
yang berkualitas tersebut. Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan.Sifatnya mutlak dalam kehidupan, baik dalam
kehidupan seseorang, keluarga, maupun bangsa dan Negara. Maju mundurnya suatu
bangsa banyak ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan bangsa itu (Sudirman N,
dkk, 1992 : 3).
Tujuan pendidikan dan pengajaran di Indonesia berlandaskan pada falsafah hidup bangsa, yaitu Pancasila. Bila kita kaji lebih jauh lagi apa yang diuraikan dalam Pasal 4 UUSPN No. 2 tahun 1989, maka kita dapat mengetahui apa yang menjadi tujuan pendidikan di Indonesia dimana Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Untuk mecapai tujuan pendidikan nasional tersebut, guru sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan di lapangan sangat menentukan keberhasilannya. Dalam hal ini guru dapat dikatakan sebagai pemegang peranan utama dalam proses pendidikan yang tercermin dalam proses belajar-mengajar di sekolah.
Tujuan pendidikan dan pengajaran di Indonesia berlandaskan pada falsafah hidup bangsa, yaitu Pancasila. Bila kita kaji lebih jauh lagi apa yang diuraikan dalam Pasal 4 UUSPN No. 2 tahun 1989, maka kita dapat mengetahui apa yang menjadi tujuan pendidikan di Indonesia dimana Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Untuk mecapai tujuan pendidikan nasional tersebut, guru sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan di lapangan sangat menentukan keberhasilannya. Dalam hal ini guru dapat dikatakan sebagai pemegang peranan utama dalam proses pendidikan yang tercermin dalam proses belajar-mengajar di sekolah.
Dalam proses belajar-mengajar
melibatkan banyak factor. Dapat dijelaskan bahwa masukan (raw input)
yang merupakan bahan dasar diberikan pengalaman belajar tertentu dalam proses
belajar-mengajar, dengan harapan dapat berubah menjadi keluaran (expected)
input) yang berupa hasil belajar yang diharapkan. Dalam proses belajar-mengajar
diharapkan pula sejumlah factor sarana dan factor lingkungan guna menunjang tercapainya
keluaran yang dikehendaki.
Pada saat proses belajar–mengajar
berlangsung di kelas, akan terjadi hubungan timbal balik antara guru dan siswa
yang beraneka ragam, dan itu akan mengakibatkan terbatasnya waktu guru untuk
mengontrol bagaimana pengaruh tingkah lakunya terhadap motivasi belajar siswa.
Selama pelajaran berlangsung guru sulit menentukan tingkah laku mana yang
berpengaruh positif terhadap motivasi belajar siswa, misalnya gaya mengajar
mana yang memberi kesan positif pada diri siswa selama ini, strategi mana yang
dapat membantu kejelasan konsep selama ini, media dan metode mana yang tepat
untuk dipakai dalam menyajikan suatu bahan sehingga dapat membantu mengaktifkan
siswa dalam belajar.
Hal tersebut memperkuat anggapan
bahwa guru dituntut untuk lebih kreatif dalam proses belajar – mengajar,
sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan pada diri siswa yang pada
akhirnya meningkatkan motivasi belajar siswa. Selanjutnya Djamarah Syaiful
Bahri (2005) mengatakan bahwa kedudukan metode sebagai alat motivasi ekstrinsik
dalam kegiatan belajar–mengajar hendaknya dipahami benar oleh guru.Motivasi
ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi, karena ada perangsang
dari luar.Sehingga metode dalam hal ini berkedudukan sebagai alat untuk meningkatkan
minat belajar siswa dari luar.Dalam menyampaikan suatu bahan pelajaran, guru
harus mampu melakukan pengorganisasian terhadap seluruh komponen pelajaran,
yang salah satunya adalah metode mengajar.
Syaiful bahri Djamarah, (1991) mengemukakan pendapatnya mengenai metode memgajar sebagai berikut : “Metode adalah salah satu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar metode sangat diperlukan oleh setiap guru yang penggunaannya sangat bervariasi sesuai dengan karakteristik tujuan yang ingin dicapai setelah pembelajaran berakhir.Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila tidak memguasai satu pun metode mengajar yang telah dirumuskan oleh para ahli psikologi pendidikan”.
Pendapat terserbut didukung oleh Karo-karo Ing S. Ulih Bukit (1975) yang mengemukakan bahwa metode mengajar ialah suatu cara tau jalan yang berfungsi sebagai alat yang digunakan dalam pengajaran untuk mencapai tujuan pengajaran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode mengajar merupakan suatu teknik atau cara yang ditempuh guru dalam menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa dan melibatkan interaksi yang aktif dan dinamis antara guru dan siswa, sehingga tujuan belajar yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Syaiful bahri Djamarah, (1991) mengemukakan pendapatnya mengenai metode memgajar sebagai berikut : “Metode adalah salah satu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar metode sangat diperlukan oleh setiap guru yang penggunaannya sangat bervariasi sesuai dengan karakteristik tujuan yang ingin dicapai setelah pembelajaran berakhir.Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila tidak memguasai satu pun metode mengajar yang telah dirumuskan oleh para ahli psikologi pendidikan”.
Pendapat terserbut didukung oleh Karo-karo Ing S. Ulih Bukit (1975) yang mengemukakan bahwa metode mengajar ialah suatu cara tau jalan yang berfungsi sebagai alat yang digunakan dalam pengajaran untuk mencapai tujuan pengajaran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode mengajar merupakan suatu teknik atau cara yang ditempuh guru dalam menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa dan melibatkan interaksi yang aktif dan dinamis antara guru dan siswa, sehingga tujuan belajar yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Stategi
Inquiry dan Discovery
Inquiry berarti pertanyaan, atau
pemeriksaan, penyelidikan. Strategi inquiry berarti suatu rangkaian belajar
yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan
menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat
merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Sasaran utama dalam
kegiatan belajar mengajar strategi ini ialah :
Keterlibatan
siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar. Kegiatan belajar disini
adalah kegiatan mental intelektual dan social emosional.
Keterarahan
kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pengajaran.
Mengembangkan
sikap percaya pada diri sendiri (self belief) pada diri siswa tentang apa yang
ditemukan dalam proses inquiry.
Untuk menyusun strategi yang terarah
pada sasaran tersebut perlu diperhatikan kondisi-kondisi yang memungkinkan
siswa dapat berinquiry secara maksimal. Joyce mengemukakan kondisi-kondisi umum
yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inquiry bagi siswa. Kondisi
tersebut ialah :
a.
Aspek social didalam kelas dan suasana terbuka yang mengundang siswa bediskusi.
Dimana setiap siswa tidak merasakan adanya tekanan atau hambatan untuk
mengemukakan pendapatnya. Adanya rasa takut, atau rendah diri, atau merasa malu
dan sebagainya, baik terhadap teman, siswa maupun terhadap guru adalah faktor –
faktor yang menghambat terciptanya suasana bebas dikelas.
b.
Inquiry berfokus pada hipotesis.
c.
Penggunaan fakta sebagai evidensi. Didalam kelas dibicarakan validitas dan
reliabilitas tentang fakta sebagaimana dituntut dalam pengujian hipotesis pada
umumnya.
Untuk menciptakan kondisi seperti
itu, maka peranan guru sangat menentukan. Guru tidak lagi berperan sebagai
pemberi informasi dan siswa sebagai penerima informasi, sekalipun hal itu
sangat diperlukan. Peranan utama guru dalam menciptakan kondisi inquiry adalah
:
1.
Motifator, yang memberi rangsangan supaya siswa aktif dan gairah berfikir.
2.
Fasilitator, yang menunjukan jalan keluar jika ada hambatan dalam proses
berfikir siswa.
3.
Penanya, untuk menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka perbuat dan
memberi keyakinan pada diri sendiri.
4.
Administrator, yang bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan didalam kelas.
5.
Pengarah, yang memimpin arus kegiatan berfikir siswa pada tujuan yang
diharapkan.
6.
Manejer, yang mengelola sumber belajar, waktu, dan organisasi kelas.
7.
Rewarder, yang memberi penghargaan pada prestasi yang dicapai dalam rangka
penigkatan semangat heuristic pada siswa.
Supaya guru dapat melakukan
peranannya secara efektif maka pengenalan kemampuan siswa sangat diperlukan,
terutama cara berfikirnya, cara mereka menanggapi, dan sebagainya.
Asumsi-asumsi yang mendasari model
inquiry ialah :
(1)
Keterampilan berfikir kritis dan berfikir dedukatif yang diperlukan berkaitan
dengan pengumpulan data yang bertalian dengan kelompok hipotesis.
(2)
Keuntungan bagi siswa dari pengalaman kelompok dimana mereka berkomunikasi,
berbagi tanggung jawab , dan bersama-sama mencari pengetahuan.
(3)
Kegiatan-kegiatan belajar disajikan dengan semangat berbagai inquiry dan
discovery menambah motivasi dan memajukan partisipasi.
Tidak ada satu metode mengajar yang
baik untuk semua pengajaran. SBM yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu
itu tergantung pada kondisi masing-masing unsur yang terlibat dalam proses
belajar mngajar secara factual. Kemampuan siswa, kemampuan guru, sifat materi,
sumber belajar, media pengajaran, faktor logistic, tujuan yang ingin dicapai,
adalah unsur – unsur pengajaran yang berbeda-beda disetiap tempat dan waktu.
Mungkin untuk suatu program pengajaran pada suatu saat dipandang lebih efektif
penyampaiannya dengan metode ceramah, pada saat lain mungkin diskusi kelompok,
dan pada saat lain mungkin Tanya jawab. Rangkaian ini secara secara keseluruhan
membentuk suatu pola yang kita sebut SBM.
SBM itu dapat kita golongkan dalam
dua kutub yang ekstrem. Disatu pihak ialah SBM dimana siswa terlibat secara
maksimal dalam usaha mencari dan menemukan, sedangkan pada kutub lain
keterlibatan siswa sangat terbatas pada menerima informasi dimana peranan guru
sangat dominan. Yang pertama disebut strategi inkuiri / discovery, dan yang
kedua disebut strategi ekspositori. Dalam pembahasan kali ini kita berbicara
tentang SBM inquiry yang sering disebut juga dengan discovery. Pada discovery
tekanan lebih pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak
diketahui. Inquiry juga menuntut usaha menemukan seperti itu. Perbedaannya
dengan discovery ialah bahwa dalam discovery masalah yang dihadapkan kepada
siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru. Pada inquiry masalahnya bukan
hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya
untuk mendapatkan temuan-temuan didalam masalah itu melalui proses penelitian.
Tekhnik penemuan adalah terjemahan
dari discovery. Menurut Sund Discovery adalah proses mental dimana siswa mampu
mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Yang dimaksud dengan proses
mental tersebut antara lain ialah :
-
Mengamati
- membuat kesimpulan
-
Mencerna
- dan sebagianya.
-
mengerti
-
menggolong-golongkan
-
membuat dugaan
-
mengukur
Suatu konsep misalnya : segitiga,
panas, demokrasi dan sebagainya, sedang yang dimaksud dengan prinsip antara
lain adalah : logam apabila dipanaskan akan mengembang. Dalam tekhnik ini siswa
dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru
hanya membimbing dan memberikan intruksi.
Penggunaan tekhnik discovery ini
guru berusaha meningkatkan aktifitas siswa dalam proses belajar mengajar. Maka
tekhnik ini memiliki keunggulan sebagai berikut :
-
Tekhnik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan ; memperbanyak kesiapan ;
serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif / pengenalan siswa.
-
Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi / individual sehingga
dapat kokoh / mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut.
-
Dapat membangkitkan kegairahan belajar para siswa.
-
Tekhnik ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju
sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
-
Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang
kuat untuk belajar lebih giat.
-
Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah keparcayaan pada diri sendiri
dengan proses penemuan sendiri.
-
Strategi itu berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman
belajar saja ; membantu bila diperlukan.
Walaupun demikian baiknya
tekhnik ini, masih ada pula kelemahan yang perlu diperhatikan, ialah :
-
para siswa harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk secara belajar ini.
Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan
baik.
-
Bila kelas terlalu besar penggunaan tekhnik ini akan kurang berhasil.
-
Bagi guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran tradisional
mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan tekhnik penemuan.
-
Dengan tekhnik ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini terlalu
mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan perkembangan /
pembentukan sikap dan keterampilan bagi siswa.
-
Tekhnik ini mungkin tidak memberikan kesempatan untuk berfikir secara kreatif.
Dr. J. Richard dan asistennya
mencoba self learning siswa ( belajar sendiri ) itu, sehingga situasi belajar
mengajar berpindah dari situasi teacher dominated learning menjadi
situasi student dominated learning. Dengan menggunakan discovery
learning, ialah suatu cara mengajar yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan
mental melalui tukar pendapat, dengan diskusi, seminar, membaca sendiri dan
mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri.
Pendekatan inquiry / discovery ini
bertolak dari pandangan bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam belajar,
mempunyai kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya. Proses pembelajaran harus dipandang sebagai
stimulus yang dapat menantang siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Peranan
guru lebih banyak menempatkan diri sebagai pembimbing atau pemimpin belajar dan
fasilitator belajar. Dengan demikian, siswa lebih banyak melakukan kegiatan
sendiri atau dalam bentuk kelompok memecahkan permasalahan dengan bimbingan
guru.
Pendekatan “ inquiry “ merupakan
pendekatan mengajar yang berusaha meletakkan dasar dan mengembangkan cara
berfikir ilmiah. Pendekatan ini menempatkan siswa lebih banyak belajar sendiri,
mengembangkan kekreatifan dalam pemecahan masalah. Siswa betul-betul ditempatkan
sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pendekatan “ inquiry “ adalah
pembimbing belajar dan fasilitator belajar. Tugas utama guru adalah memilih
masalah yang perlu dilontarkan kepada kelas untuk dipecahkan oleh siswa
sendiri. Tugas berikutnya dari guru adalah menyediakan sumber belajar bagi
siswa dalam rangka pemecahan masalah. Sudah barang tentu bimbingan dan
pengawasan dari guru masih tetap diperlukan, namun campur tangan atau
intervensi terhadap kegiatan siswa dalam pemecahan masalah, harus dikurangi.
Pendekatan inquiry dalam mengajar
termasuk pendekatan modern, yang sangat didambakan untuk dilaksanakan disetiap
sekolah. Adanya tuduhan bahwa sekolah menciptakan kultur bisu, tidak akan
terjadi apabila pendekatan ini digunakan. Pendekatan inquiry dapat dilaksanakan
apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
(a)
guru harus terampil memilih persoalan yang relevan untuk diajukan kepada kelas
(persoalan bersumber dari bahan pelajaran yang menantang siswa/problematika)
dan sesuai dengan daya nalar siswa,
(b)
guru harus terampil menumbuhkan motivasi belajar siswa dan menciptakan situasi
belajar yang menyenangkan,
(c)
adanya fasilitas dan sumber belajar yang cukup,
(d)
adanya kebebasan siswa untuk berpendapat, berkarya, berdiskusi,
(e)
partisipasi setiap siswa dalam setiap kegiatan belajar,
(f)
guru tidak banyak campur tangan dan intervensi terhadap kegiatan siswa.
Ada lima tahapan / langkah yang
ditempuh dalam melaksanakan pendekatan inquiry / discovery yakni ;
(a)
perumusan masalah untuk dipecahkan siswa,
(b)
menetapkan jawaban sementara atau lebih dikenal dengan istilah hipotesis,
(c)
siswa mencari informasi, data, fakta yang diperlukan untuk menjawab
permasalahan / hipotesis,
(d)
menarik kesimpulan jawaban atau generalisasi,
(e)
mengaplikasikan kesimpulan / generalisasi dalam situasi baru.
B.
PENGAJARAN DISCOVERY DALAM KELAS
Metode mengajar yang biasa digunakan
guru dalam pendekatan ini antara lain metode diskusi dan pemberian tugas.
Diskusi untuk memecahkan permasalahan dilakukan oleh sekelompok kecil siswa
(antara 3-5 orang ) dengan arahan dan bimbingan guru. Kegiatan ini dilaksanakan
pada saat tatap muka atau pada saat kegiatan terjadwal. Dengan demikian dalam
pendekatan inquiry / discovery model komunikasi yang digunakan bukan komunikasi
satu arah atau komunikasi sebagai aksi tapi komunikasi banyak arah atau
komunikasi sebagai tranaksi. Studi dan penelitian terhadap kedua pendekatan ini
telah banyak dilakukan. Misalnya studi yang dilakukan oleh University of
Philipine sampai kepada kesimpulan bahwa pendekatan ekspositeri dan inquiry
tidak berbeda keaktifannya dalam mencapai hasil belajar yang bersifat
informasi, fakta dan konsep, tetapi berbeda secara signifikan dalam mencapai
keterampilan berpikir, pendekatan inquiry lebih efektif daripada pendekatan
ekspositeri.
Adapun model inquiry ini
dilaksanakan oleh kelompok itu dengan langkah-langkah sebagai berikut :
(1) Membentuk
kelompok-kelompok inquiry. Masing-masing kelompok dibentuk berdasarkan rentang
intelektual dan keterampilan-keterampilan social.
(2) Memperkenalkan topic-topik
inquiry kepada semua kelompok. Tiap kelompok diharapkan memahamidan berminat
mempelajarinya.
(3) Membentuk proposisi
tentang kebijakan yang bertalian dengan topic, yakni pernyataan apa yang harus
dikerjakan. Mungkin terdapat satu atau lebih solusi yang diusulkan terhadap
masalah pokok.
(4) Merumuskan semua istilah
yang terkandung dalam proposisi kebijakan.
(5) Menyelidik validitas logis
dan konsistensi internal pada proposisi dan unsur-unsur penunjangnya.
(6) Mengumpulkan evidensi
(bukti) untuk menunjang unsur-unsur / isi proposisi.
(7) Menganalisis solusi-solusi
yang diusulkan dan mencari posisi kelompok.
(8) Menilai proses kelompok.
Strategi belajar discovery paling
baik dilaksanakan dalam kelompok belajar yang kecil. Namun dapat juga
dilaksanakan dalam kelompok belajar yang besar. Kendatipun tidak semua siswa
dapat terlibat dalam proses discovery, namun pendekatan discovery dapat
memberikan mafaat bagi siswa yang belajar. Pendekatan ini dapat dilaksanakan
dalam bentuk komunikasi dua arah, bergantung pada besarnya kelas.
- Sistem Satu Arah
Pendekatan satu arah berdasarkan
penyajian satu arah (penuangan/exposition) yang dilakukan guru. Struktur
penyajian dalam bentuk usaha merangsang siswa melakukan proses discovery di
depan kelas. Guru mengajukan suatu masalah, dan kemudian memecahkan masalah
tersebut melalui langkah-langkah discovery. Caranya adalah mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada kelas, memberikan kesempatan kepada kelas untuk melakukan
refleksi. Selanjutnya guru menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan yang
diajukannya itu. Dalam prosedur ini guru tidak menentukan / menunjukkan
aturan-aturan yang harus digunakan oleh siswa, tetapi dengan
pertanyaan-pertanyaan guru mengundang siswa untuk mencari aturan-aturan yang
harus diperbuatnya. Pemecahan masalah berlangsung selangkah demi selangkah
dalam urutan yang ditemukan sendiri oleh siswa. Guru mengharapkan agar siswa
secara keseluruhan berhasil melibatkan dirinya dalam proses pemecahan masalah,
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya secara reflektif. Dalam keadaan
ini, sesungguhnya tidak ada jaminan bahwa adanya penyajian oleh guru.
Penggunaan discovery dalam kelompok kecil sangat bergantung pada kemampuan dan
pengalaman guru sendiri, serta waktu dan kemampuan mengantisipasi kesulitan
siswa.
- Sistem Dua Arah (Discovery Terbimbing)
Sistem dua arah melibatkan siswa
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan guru. Siswa melakukan discovery, sedangkan
guru membimbing mereka kearah yang tepat/benar. Gaya pengajaran demikian, oleh
Cagne disebut guide discovery, sekalipun didalam kelas yang terdiri dari 20-30
orang siswa. Hanya beberapa orang saja yang benar-benar melakukan discovery,
sedangkan yang lainnya berpartisipasi dalam proses discovery misalnya dalam
system ceramah reflektif. Dalam kelompok yang lebih kecil, guru dapat
melibatkan hampir semua siswa dalam proses itu. Dalam system ini, guru perlu
memiliki keterampilan memberikan bimbingan, yakni mendiagnosis
kesulitan-kesulitan siswa dan memberikan bantuan dalam memecahkan masalah yang
mereka hadapi. Namun demikian, tidak berarti guru menggunakan metode ceramah
reflektif sebagaimana halnya pada strategi di atas.
C.
STRATEGI INQUIRY DAN DIMENSI BERFIKIR
Untuk mengenal berbagai cara berfikir
siswa, terutama dalam mereka berinquiry, perlu kita kenal beberapa cara
berfikir pada umumnya.
1.
Berfikir Urutan, apabila misalnya guru menghadapkan kepada siswa tiga bilangan
berturut-turut 2, 4, 6, maka siswa dapat menyebut bahwa bilangan pada urutan
ke-4 adalah 8 dan yang ke-5 adalah 10.
2.
Berfikir Bertentangan, jika kepada siswa dihadapkan pasangan kata-kata :
panas-dingin dan kecil-besar, maka mereka dapat menyebut pasangan dari
kata-kata : siang-…, malam-…, dan seterusnya dengan benar.
3.
Berfikir Asosiasi, jika kepada siswa dihadapkan pasangan kata-kata :
besi-berat, kapas-ringan, maka mereka dapat menyebut pasangan dari kata murid-…
dengan benar.
4.
Berfikir Kausalitas (sebab-akibat), kalau kepada siswa dihadapkan pasangan kata
: rajin-pandai dan mendung-hujan, maka mereka dapat menyebut pasangan dari kata
: menganggur-… dengan benar.
5.
Berfikir Konsentris, berfikir konsentris menuntut kemampuan intelektual yang
lebih tinggi dari keempat cara berfikir diatas. Berfikir konsentris terarah pad
mencari hakikat dari sesuatu yang bersifat umum (lihat ilustrasi).
6.
Berfikir Konvergen, berpangkal dari unsur-unsur yang terpisah-pisah (berfikiran
luas)
7.
Befikir divergen, bertitik tolak dari suatu peristiwa menuju keberbagai
kemungkinan, (pengembangan berfikir).
8.
Berfikir Silogisme, bertitik tolak pada premis mayor yang tidak diragukan
kebenarannya, Contoh : semua manusia akan mati, Si polan adalah manusia, Si
polan akan mati.
D.
PROSES INQUIRY
Inquiry tidak hanya mengembangkan
kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan
emosional dan pengembangan keterampilan. Pada hakekatnya inquiry ini merupakan
suatu proses. Proses ini bermula dari merumuskan masalah, mengembangkan
hipotesis, dan menarik kesimpulan sementara, menguji kesimpulan sementara
supaya sampai pada kesimpulan yang taraf tertentu diyakini oleh peserta didik
yang bersangkutan.
Kemampuan – kemampuan yang dituntut
pada setiap tahap dalam proses inqury adalah :
- Merumuskan masalah, kemampuan yang dituntut : kesadaran terhadap masalah, melihat pentingnya masalah, merumuskan masalah.
- Merumuskan jawaban sementara (hipotesis), kemampuan yang dituntut : menguji dan menggolongkan jenis data yang dapat diperoleh, melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis, merumuskan hipotesis.
- Menguji jawaban tentatif, kemampuan yang dituntut : Merakit Peristiwa (mengidentifikasikan peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, mengevaluasi data), Menyusun Data (mentranslasikan data, menginterpretasikan data, mengklasifikasikan), Analisis Data (melihat hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, mengidentifikasikan tren, sekuensi dan keteraturan).
- Menarik Kesimpulan, mencari pola dan makna hubungan dan merumuskan kesimpulan.
- Menerapkan kesimpulan dan generalisasi.
E.
STRATEGI INQUIRY DAN TEKHNIK BERTANYA
SBM inquiry dapat dilaksanakan
dengan serbagai metode mengajar, seperti metode Tanya jawab, diskusi, problem
solving, studi kasus, penelitian mandiri dan sebagainya. Salah satu tekhnik
yang banyak dipakai dalam berbagai metode mengajar ialah tekhnik bertanya.
Karena teknik ini digunakan secara luas, maka perlu dibicarakan secara khusus
penggunaan teknik bertanya itu dalam hubungannya dengan strategi inquiry.
Pentingnya Bertanya
Pentingnya bertanya itu dapat kita
lihat pada beberapa pernyataan, antara lain :
(1)
jantung strategi belajar yang efektif terletak pada pertanyaan yang diajukan
oleh guru (Fraenkel)
(2)
dari sekian banyak metode pengajaran, yang paling banyak dipakai ialah bertanya
(Bank)
(3)
bertanya adalah salah satu teknik yang paling tua dan paling baik (Clark)
(4)
mengajar itu adalah bertanya (Dewey)
(5)
pertanyaan-pertanyaan adalah unsur utama dalam strategi pengajaran, merupakan
kunci permainan bahasa dalam pengajaran (Hyman)
Fungsi bertanya
Pentingnya bertanya dalam kegiatan
belajar mengajar dapat kita pahami kalau diperhatikan peranannya sebagai
berikut :
(1) melengkapi kemampuan
berceramah
(2) mengubah kemampuan
berceramah
(3) meningkatkan kadar CBSA
(Cara Belajar Siswa Aktif)
(4) Sikap inquiry bertitik
tolak pada bertanya
(5) Mengubah persepsi yang
keliru terhadap bertanya
Dalam peranan yang demikian itu
kegiatan bertanya berfungsi untuk :
(1)
Mengembangkan minat dan keingintahuan
(2)
Memusatkan perhatian pada pokok masalah
(3)
Mendiagnosis kesulitan belajar
(4)
Meningkatkan kadar CBSA
(5)
Kemampuan memahami informasi
(6)
Kemampuan mengemukakan pendapat
(7)
Mengukur hasil belajar
Untuk mengembangkan pertanyaan yang
efektif sesuai dengan fungsi tersebut, beberapa hal yang perlu diperhatikan
ialah :
(1)
kehangatan dan antusias. Bertanya dan menjawab dilakukan dalam situasi yang
cukup hangat dan antusias
(2)
beberapa kebiasaan yang perlu dihindari dalam mengajukan pertanyaan ialah :
a.
mengulang pertanyaan
b. mengulang
jawaban siswa
c.
menjawab pertanyaan sendiri
d. memancing
jawaban serentak
e.
pertanyaan ganda
f.
menentukan siswa tertentu
Prinsip-prinsip Bertanya Dasar
Bertanya sebagai alat untuk
mengembangkan kemampuan dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu :
(1)
Bertanya dasar, bertanya untuk mengembangkan kemampuan berfikir dasar.
Dihubungkan dengan taksonomi Bloom, kemampuan dasar ini terdiri atas pengetahuan,
pemahaman, dan aplikasi. (jelas, singkat, acuan, pemusatan, giliran
(horizontal), penyebaran, waktu berfikir, tuntunan).
(2)
Bertanya lanjut, bertanya untuk mengembangkan kemampuan ini meliputi analisis,
sintesis dan evaluasi. Tujuannya :
a.
mengembangkan kemampuan untuk menemukan, mengorganisasikan, dan menilai
informasi.
b.
mengembangkan kemampuan untuk mengungkapkan pertanyaan.
c.
Membangkitkan ide.
d. Mendorong
keinginan berpretase.
Prinsip-prinsipnya :
a.
sama dengan bertanya dasar
b. waktu
berfikir diberi agak lama
c.
butir-butir pertanyaan perlu disiapkan terlebih dahulu
d. menilai
apakah pertanyaan relevan dan komprehensif.
Jenis-Jenis Metode Penemuan (Discovery-Inquiry)
Moh. Amin (Sudirman N, 1992)
menguraikan tentang tujuh jenis inquiry-discovery yang dapat diikuti
sebagai berikut :
- Guided Discovery-Inquiry Lab. Lesson
Sebagian perencanaan dibuat oleh
guru.Selain itu guru menyediakan kesempatan bimbingan atau petunjuk yang cukup
luas kepada siswa.Dalam hal ini siswa tidak merumuskan problema, sementara
petunjuk yang cukup luas tentang bagaimana menyusun dan mencatat diberikan oleh
guru.
2. Modified
Discovery-Inquiry
Guru hanya memberikan problema saja.
Biasanya disediakan pula bahan atau alat-alat yang diperlukan, kemudian siswa
diundang untuk memecahkannya melalui pengamatan, eksplorasi dan atau melalui
prosedur penelitian untuk memperoleh jawabannya.Pemecahan masalah dilakukan
atas inisiatif dan caranya sendiri secara berkelompok atau perseorangan. Guru
berperan sebagai pendorong, nara sumber, dan memberikan bantuan yang diperlukan
untuk menjamin kelancaran proses belajar siswa.
3. Free
Inquiry
Kegiatan free inquiry
dilakukan setelah siswa mempelajarai dan mengerti bagaimana memecahkan suatu
problema dan telah memperoleh pengetahuan cukup tentang bidang studi tertentu
serta telah melakukan modified discovery-inquiry. Dalam metode ini siswa
harus mengidentifikasi dan merumuskan macam problema yang akan dipelajari atau
dipecahkan.
4. Invitation
Into Inquiry
Siswa dilibatkan dalam proses
pemecahan problema sebagaimana cara-cara yang lazim diikuti scientist. Suatu
undangan (invitation) memberikan suatu problema kepada siswa, dan melalui
pertanyaan masalah yang telah direncanakan dengan hati-hati mengundang siswa
untuk melakukan beberapa kegiatan atau kalau mungkin, semua kegiatan sebagai
berikut : merancang eksperimen, merumuskan hipotesis, menetapkan kontrol,
menentukan sebab akibat, menginterpretasi datadan membuat grafik
5. Inquiry
Role Approach
Inquiry Role Approach
merupakan kegiatan proses belajar
yang melibatkan siswa dalam tim-tim yang masing-masing terdiri tas empat
anggota untuk memecahkan invitation into inquiry. Masing-masing anggota
tim diberi tugas suatu peranan yang berbeda-beda sebagai berikut : koodinator
tim, penasihat teknis, pencatat data dan evaluator proses
6. Pictorial
Riddle
Pendekatan dengan menggunakan pictorial
riddle adalah salah satu teknik atau metode untuk mengembangkan motivasi
dan minat siswa di dalam diskusi kelompok kecil maupun besar. Gambar atau
peragaan, peragaan, atau situasi yang sesungguhnya dapat digunakan untuk
meningkatkan cara berfikir kritis dan kreatif siswa. Suatu ridlle
biasanya berupa gambar di papan tulis, papan poster, atau diproyeksikan dari
suatu trasparansi, kemudian guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan ridlle
itu.
7. Synectics
Lesson
Pada dasarnya syntetics
memusatkan pada keterlibatan siswa untyuk membuat berbagai macam bentuk
metafora (kiasan) supaya dapat membuka intelegensinya dan mengembangkan
kreativitasnya.Hal ini dapat dilaksankan karena metafora dapat membantu dalam
melepaskan “ikatan struktur mental” yang melekat kuat dalam memandang suatu
problema sehingga dapat menunjang timbulnya ide-ide kreatif.
Walaupun dalam praktiknya aplikasi
metode pembelajaran inquiry sangat beragam, tergantung pada situasi dan kondisi
sekolah, namun dapat disebutkan bahwa pembelajaran dengan metode inquiry
memiliki 5 komponen yang umum yaitu Question, Student Engangement, Cooperative
Interaction, Performance Evaluation, dan Variety of Resources (Garton,
2005).
Question.Pembelajaran
biasanya dimulai dengan sebuah pertanyaan pembuka yang memancing rasa ingin
tahu siswa dan atau kekaguman siswa akan suatu fenomena. Siswa diberi
kesempatan untuk bertanya, yang dimaksudkan sebagai pengarah ke pertanyaan inti
yang akan dipecahkan oleh siswa. Selanjutnya, guru menyampaikan pertanyaan inti
atau masalah inti yang harus dipecahkan oleh siswa.Untuk menjawab pertanyaan
ini – sesuai dengan Taxonomy Bloom – siswa dituntut untuk
melakukan beberapa langkah seperti evaluasi, sintesis, dan analisis.Jawaban
dari pertanyaan inti tidak dapat ditemukan misalnya di dalam buku teks,
melainkan harus dibuat atau dikonstruksi.
Student Engangement.Dalam
metode inquiry, keterlibatan aktif siswa merupakan suatu keharusan sedangkan
peran guru adalah sebagai fasilitator. Siswa bukan secara pasif menuliskan
jawaban pertanyaan pada kolom isian atau menjawab soal-soal pada akhir bab
sebuah buku, melainkan dituntut terlibat dalam menciptakan sebuah produk yang
menunjukkan pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajari atau dalam
melakukan sebuah investigasi.
Cooperative Interaction.Siswa
diminta untuk berkomunikasi, bekerja berpasangan atau dalam kelompok, dan mendiskusikan
berbagai gagasan.Dalam hal ini, siswa bukan sedang berkompetisi.Jawaban dari
permasalahan yang diajukan guru dapat muncul dalam berbagai bentuk, dan mungkin
saja semua jawaban benar.
Performance Evaluation.Dalam
menjawab permasalahan, biasanya siswa diminta untuk membuat sebuah produk yang
dapat menggambarkan pengetahuannya mengenai permasalahan yang sedang
dipecahkan. Bentuk produk ini dapat berupa slide presentasi, grafik, poster,
karangan, dan lain-lain. Melalui produk-produk ini guru melakukan evaluasi.
Variety of Resources.Siswa
dapat menggunakan bermacam-macam sumber belajar, misalnya buku teks, website,
televisi, video, poster, wawancara dengan ahli, dan lain sebagainya.
B. Teori – teori Motivasi
Motivasi
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang memberikan energi
bagi seseorang dan apa yang memberikan arah bagi aktivitasnya. Motivasi
kadang-kadang dibandingkan dengan mesin dan kemudi pada mobil.Energi dan arah
inilah yang menjadi inti dari konsep tentang motivasi. Motivasi merupakan
sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali dikaitkan dengan
faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas manusia,
misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai (value),
sikap (attitude), aspirasi, dan insentif (Gage & Berliner, 1984).
Dengan pengertian istilah motivasi seperti tersebut di atas, kita dapat
mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang memberikan energiuntuk
belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas
belajar siswa.
Secara umum, teori-teori tentang
motivasi dapat dikelompokkan berdasarkan sudut pandangnya, yaitu behavioral,
cognitive, psychoanalytic, humanistic, social learning,
dan social cognition.
1. Teori-teori Behavioral
Robert M. Yerkes dan J.D. Dodson,
pada tahun 1908 menyampaikan Optimal Arousal Theory atau teori tentang
tingkat motivasi optimal, yang menggambarkan hubungan empiris antara rangsangan
(arousal) dan kinerja (performance). Teori ini menyatakan bahwa
kinerja meningkat sesuai dengan rangsangan tetapi hanya sampai pada titik
tertentu; ketika tingkat rangsangan menjadi terlalu tinggi, kinerja justru
menurun, sehingga disimpulkan terdapat rangsangan optimal untuk suatu aktivitas
tertentu (Yerkes & Dodson, 1908).
Pada tahun 1943, Clark Hull
mengemukakan Drive Reduction Theory yang menyatakan bahwa kebutuhan
biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi
sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun
hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang muncul
mungkin bermacam-macam bentuknya (Budiningsih, 2005). Masih menurut Hull, suatu
kebutuhan biologis pada makhluk hidup menghasilkan suatu dorongan (drive)
untuk melakukan aktivitas memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga meningkatkan
kemungkinan bahwa makhluk hidup ini akan melakukan respon berupa reduksi
kebutuhan (need reduction response). Menurut teori Hull, dorongan (motivators
of performance) dan reinforcement bekerja bersama-sama untuk
membantu makhluk hidup mendapatkan respon yang sesuai (Wortman, 2004). Lebih
jauh Hull merumuskan teorinya dalam bentuk persamaan matematis antara drive
(energi) dan habit (arah) sebagai penentu dari behaviour
(perilaku) dalam bentuk:
Behaviour = Drive × Habit
Karena hubungan dalam persamaan
tersebut berbentuk perkalian, maka ketika drive = 0, makhluk hidup tidak
akan bereaksi sama sekali, walaupun habit yang diberikan sangat kuat dan
jelas (Berliner & Calfee, 1996).
Pada periode 1935 – 1960, Kurt Lewin
mengajukan Field Theory yang dipengaruhi oleh prinsip dasar psikologi
Gestalt. Lewin menyatakan bahwa perilaku ditentukan baik oleh person (P)
maupun oleh environment (E):
Behaviour = f(P, E)
Menurut Lewin, besar gaya
motivasional pada seseorang untuk mencapai suatu tujuan yang sesuai dengan
lingkungannya ditentukan oleh tiga faktor: tension (t) atau besar
kecilnya kebutuhan, valensi (G ) atau sifat objek tujuan, dan jarak psikologis
orang tersebut dari tujuan (e).
Force = f(t, G)/e
Dalam persamaan Lewin di atas, jarak
psikologis berbanding terbalik dengan besar gaya (motivasi), sehingga semakin
dekat seseorang dengan tujuannya, semakin besar gaya motivasinya. Sebagai
contoh, seorang pelari yang sudah kelelahan melakukan sprint ketika ia
melihat atau mendekati garis finish. Teori Lewin memandang motivasi sebagai tension
yang menggerakkan seseorang untuk mencapai tujuannya dari jarak psikologis yang
bervariasi (Berliner & Calfee, 1996).
2. Teori-teori Cognitive
Pada tahun 1957 Leon Festinger
mengajukan Cognitive Dissonance Theory yang menyatakan jika terdapat
ketidakcocokan antara dua keyakinan, dua tindakan, atau antara keyakinan dan
tindakan, maka kita akan bereaksi untuk menyelesaikan konflik dan
ketidakcocokan ini. Implikasi dari hal ini adalah bahwa jika kita dapat
menciptakan ketidakcocokan dalam jumlah tertentu, ini akan menyebabkan
seseorang mengubah perilakunya, yang kemudian mengubah pola pikirnya, dan
selanjutnya mengubah lebih jauh perilakunya (Huitt, 2001).
Teori kedua yang termasuk dalam
teori-teori cognitive adalah Atribution Theory yang dikemukakan oleh
Fritz Heider (1958), Harold Kelley (1967, 1971), dan Bernard Weiner (1985,
1986). Teori ini menyatakan bahwa setiap individu mencoba menjelaskan
kesuksesan atau kegagalan diri sendiri atau orang lain dengan cara menawarkan
attribut-atribut tertentu. Atribut ini dapat bersifat internal maupun eksternal
dan terkontrol maupun yang tidak terkontrol seperti tampak pada diagram
berikut.
Internal
|
Eksternal
|
|
Tidak terkontrol
|
Kemampuan (ability)
|
Keberuntungan (luck)
|
Terkontrol
|
Usaha (effort)
|
Tingkat kesulitan tugas
|
Dalam sebuah pembelajaran, sangat
penting untuk membantu siswa mengembangkan atribut-diri usaha (internal,
terkontrol). Jika siswa memiliki atribut kemampuan (internal, tak terkontrol),
maka begitu siswa mengalami kesulitan dalam belajar, siswa akan menunjukkan
perilaku belajar yang melemah (Huitt, 2001).
Pada tahun 1964, Vroom mengajukan Expectancy
Theoryyang secara matematis dituliskan dalam persamaan:
Motivation = Perasaan berpeluang
sukses (expectancy) × Hubungan antara sukses dan reward (instrumentality)
× Nilai dari tujuan (Value)
Karena dalam rumus ini yang
digunakan adalah perkalian dari tiga variabel, maka jika salah satu variabel
rendah, motivasi juga akan rendah. Oleh karena itu, ketiga variabel tersebut
harus selalu ada supaya terdapat motivasi. Dengan kata lain, jika
seseorang merasa tidak percaya bahwa ia dapat sukses pada suatu proses belajar atau
ia tidak melihat hubungan antara aktivitasnya dengan kesuksesan atau ia
tidak menganggap tujuan belajar yang dicapainya bernilai, maka kecil
kemungkinan bahwa ia akan terlibat dalam aktivitas belajar.
3. Teori-teori Psychoanalytic
Salah satu teori yang sangat
terkenal dalam kelompok teori ini adalah Psychoanalytic Theory (Psychosexual
Theory) yang dikemukakan oleh Freud (1856 – 1939) yang menyatakan bahwa
semua tindakan atau perilaku merupakan hasil dari naluri (instinct)
biologis internal yang terdiri dari dua kategori, yaitu hidup (sexual)
dan mati (aggression). Erik Erikson yang merupakan murid Freud yang
menentang pendapat Freud, menyatakan dalam Theory of Socioemotional
Development (atau Psychosocial Theory) bahwa yang paling mendorong perilaku
manusia dan pengembangan pribadi adalah interaksi sosial (Huitt, 1997).
4. Teori-teori Humanistic
Teori yang sangat berpengaruh dalam
teori humanistic ini adalah Theory of Human Motivation yang dikembangkan
oleh Abraham Maslow (1954). Maslow mengemukakan gagasan hirarki kebutuhan
manusia, yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu deficiency needs dan growth
needs. Deficiency needs meliputi (dari urutan paling bawah)
kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan rasa
memiliki, dan kebutuhan akan penghargaan. Dalam deficiency needs ini,
kebutuhan yang lebih bawah harus dipenuhi lebih dulu sebelum ke kebutuhan di
level berikutnya. Growth needs meliputi kebutuhan kognitif, kebutuhan
estetik, kebutuhan aktualisasi diri, dan kebutuhan self-transcendence.
Menurut Maslow, manusia hanya dapat bergerak ke growth needs jika dan
hanya jika deficiency needs sudah terpenuhi. Hirarki kebutuhan Maslow
merupakan cara yang menarik untuk melihat hubungan antara motif manusia dan
kesempatan yang disediakan oleh lingkungan (Atkinson, 1983).
Teori Maslow mendorong penelitian-penelitian
lebih lanjut yang mencoba mengembangkan sebuah teori tentang motivasi yang
memasukkan semua faktor yang mempengaruhi motivasi ke dalam satu model (Grand
Theory of Motivation), misalnya seperti yang diusulkan oleh Leonard,
Beauvais, dan Scholl (1995). Menurut model ini, terdapat 5 faktor yang
merupakan sumber motivasi, yaitu 1)instrumental motivation (reward
dan punishment), 2)Intrinsic Process Motivation (kegembiraan,
senang, kenikmatan), 3)Goal Internalization (nilai-nilai tujuan), 4)Internal
Self-Concept yang didasarkan pada motivasi, dan 5) External Self-Concept
yang didasarkan pada motivasi (Leonard, et.al, 1995).
5. Teori-teori Social Learning
Social Learning Theory
(1954) yang diajukan oleh Julian Rotter menaruh perhatian pada apa yang dipilih
seseorang ketika dihadapkan pada sejumlah alternatif bagaimana akan bertindak.
Untuk menjelaskan pilihan, atau arah tindakan, Rotter mencoba menggabungkan dua
pendekatan utama dalam psikologi, yaitu pendekatan stimulus-response
atau reinforcement dan pendekatan cognitive atau field.
Menurut Rotter, motivasi merupakan fungsi dari expectation dan nilai reinforcement.
Nilai reinforcement merujuk pada tingkat preferensi terhadap reinforcement
tertentu (Berliner & Calfee, 1996).
6. Teori Social Cognition
Tokoh dari Social Cognition
Theory adalah Albert Bandura.Melalui berbagai eksperimen Bandura dapat
menunjukkan bahwa penerapan konsekuensi tidak diperlukan agar pembelajaran
terjadi. Pembelajaran dapat terjadi melalui proses sederhana dengan mengamati
aktivitas orang lain. Bandura menyimpulkan penemuannya dalam pola 4 langkah
yang mengkombinasikan pandangan kognitif dan pandangan belajar operan, yaitu 1)Attention,
memperhatikan dari lingkungan, 2)Retention, mengingat apa yang pernah
dilihat atau diperoleh, 3)Reproduction, melakukan sesuatu dengan cara
meniru dari apa yang dilihat, 4)Motivation, lingkungan memberikan
konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku yang akan muncul lagi (reinforcement
and punishment) (Huitt, 2004).
C. Teori Curiosity Berlyne
Pada tahun 1960 Berlyne mengemukakan
sebuah Teori tentang Curiosity atau rasa ingin tahu. Menurut Berlyne,
ketidakpastian muncul ketika kita mengalami sesuatu yang baru, mengejutkan,
tidak layak, atau kompleks. Ini akan menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam
sistem syaraf pusat kita. Respon manusia ketika menghadapi suatu
ketidakpastian inilah yang disebut dengan curiosity atau rasa ingin
tahu. Curiosity akan mengarahkan manusia kepada perilaku yang berusaha
mengurangi ketidakpastian (Gagne, 1985).
Dalam pembelajaran Sains, ketika
guru melakukan demonstrasi suatu eksperimen yang memberikan hasil yang tidak
terduga, hal ini akan menimbulkan konflik konseptual dalam diri siswa, dan ini
akan memotivasi siswa untuk mengerti mengapa hasil eksperimen tersebut berbeda
dengan apa yang dipikirkannya. Dengan demikian, keadaan ketidakpastian yang
diciptakan oleh guru telah menimbulkan curiosity siswa, dan siswa akan
termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian dalam dirinya tersebut. Dapat
disimpulkan bahwa curiosity merupakan hal penting dalam meningkatkan
motivasi.Sejarah juga membuktikan bahwa curiosity memiliki banyak peran
dalam kehidupan para penemu (inventor), ilmuwan, artis, dan orang-orang
yang kreatif.
Salah satu metode pembelajaran yang
melibatkan curiosity siswa adalah inquiry teaching.Dalam metode ini,
siswa lebih banyak ditanya daripada diberikan jawaban. Dengan mengajukan
pertanyaan, bukan hanya pernyataan-pernyataan, curiosity siswa akan meningkat
karena siswa mengalami ketidakpastian terhadap jawaban pertanyaan-pertanyaan
tersebut (Gagne, 1985).
DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, Oemar, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan
Pendekatan Sistem, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2002.
Hamalik, Oemar, Proses Belajar Mengajar, Jakarta :
Sinar Grafika Offset, 2003.
Roestiyah, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : Bina
Aksara, 1998.
Sudjana Nana, Dasar-dasar proses belajar mengajar,
Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2004.
W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : PT.
Grasindo, 2002.
1.
W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar,
Jakarta : PT. Grasindo, 2002, hal, 86.
2.
Hamalik, Oemar, Proses Belajar
Mengajar, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2003. Hal, 220.
3.
W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar,
Jakarta : PT. Grasindo, 2002, hal, 83.
4.
Roestiyah, Strategi Belajar
Mengajar, Jakarta : Bina Aksara, 1998. Hal. Tanpa Halaman.
5.
Sudjana Nana, Dasar-dasar proses
belajar mengajar, Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2004, hal, 154.
7.
Hamalik, Oemar, Perencanaan
Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta : Sinar Grafika Offset,
2002. Hal, 187.
9.
W. Gulo, Strategi Belajar
Mengajar, Jakarta : PT. Grasindo, 2002, hal, 95.
10. Ibid.
Hal. 104.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar