Sabtu, 26 April 2014

makalah strategi belajar mengajar INQUIRY DAN DISCOVERY



A.     PENGERTIAN STARATEGI  INQUIRY / DISCOVERY
Pendahuluan
Tujuan pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam GBHN adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Hal ini berarti bahwa pembangunan tidak hanya mengejar kepuasan lahiriah saja seperti sandang, pangan, papan, dan kesehatan saja ataupun mengejar kepuasan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab dan rasa keadilan saja, melainkan antara pembangunan lahiriah dan batiniah tersebut haruslah berjalan seiring secara serasi.
Untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional seperti yang tercantum di atas, maka sudah barang tentu akan sangat diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam hal ini pendidikan merupakan salah satu sarana untuk menciptakan sumber daya – sumber daya manusia yang berkualitas tersebut. Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan.Sifatnya mutlak dalam kehidupan, baik dalam kehidupan seseorang, keluarga, maupun bangsa dan Negara. Maju mundurnya suatu bangsa banyak ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan bangsa itu (Sudirman N, dkk, 1992 : 3).
Tujuan pendidikan dan pengajaran di Indonesia berlandaskan pada falsafah hidup bangsa, yaitu Pancasila. Bila kita kaji lebih jauh lagi apa yang diuraikan dalam Pasal 4 UUSPN No. 2 tahun 1989, maka kita dapat mengetahui apa yang menjadi tujuan pendidikan di Indonesia dimana Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Untuk mecapai tujuan pendidikan nasional tersebut, guru sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan di lapangan sangat menentukan keberhasilannya. Dalam hal ini guru dapat dikatakan sebagai pemegang peranan utama dalam proses pendidikan yang tercermin dalam proses belajar-mengajar di sekolah.
Dalam proses belajar-mengajar melibatkan banyak factor. Dapat dijelaskan bahwa masukan (raw input) yang merupakan bahan dasar diberikan pengalaman belajar tertentu dalam proses belajar-mengajar, dengan harapan dapat berubah menjadi keluaran (expected) input) yang berupa hasil belajar yang diharapkan. Dalam proses belajar-mengajar diharapkan pula sejumlah factor sarana dan factor lingkungan guna menunjang tercapainya keluaran yang dikehendaki.
Pada saat proses belajar–mengajar berlangsung di kelas, akan terjadi hubungan timbal balik antara guru dan siswa yang beraneka ragam, dan itu akan mengakibatkan terbatasnya waktu guru untuk mengontrol bagaimana pengaruh tingkah lakunya terhadap motivasi belajar siswa. Selama pelajaran berlangsung guru sulit menentukan tingkah laku mana yang berpengaruh positif terhadap motivasi belajar siswa, misalnya gaya mengajar mana yang memberi kesan positif pada diri siswa selama ini, strategi mana yang dapat membantu kejelasan konsep selama ini, media dan metode mana yang tepat untuk dipakai dalam menyajikan suatu bahan sehingga dapat membantu mengaktifkan siswa dalam belajar.
Hal tersebut memperkuat anggapan bahwa guru dituntut untuk lebih kreatif dalam proses belajar – mengajar, sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan pada diri siswa yang pada akhirnya meningkatkan motivasi belajar siswa. Selanjutnya Djamarah Syaiful Bahri (2005) mengatakan bahwa kedudukan metode sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar–mengajar hendaknya dipahami benar oleh guru.Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi, karena ada perangsang dari luar.Sehingga metode dalam hal ini berkedudukan sebagai alat untuk meningkatkan minat belajar siswa dari luar.Dalam menyampaikan suatu bahan pelajaran, guru harus mampu melakukan pengorganisasian terhadap seluruh komponen pelajaran, yang salah satunya adalah metode mengajar.
Syaiful bahri Djamarah, (1991) mengemukakan pendapatnya mengenai metode memgajar sebagai berikut : “Metode adalah salah satu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar metode sangat diperlukan oleh setiap guru yang penggunaannya sangat bervariasi sesuai dengan karakteristik tujuan yang ingin dicapai setelah pembelajaran berakhir.Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila tidak memguasai satu pun metode mengajar yang telah dirumuskan oleh para ahli psikologi pendidikan”.
Pendapat terserbut didukung oleh Karo-karo Ing S. Ulih Bukit (1975) yang mengemukakan bahwa metode mengajar ialah suatu cara tau jalan yang berfungsi sebagai alat yang digunakan dalam pengajaran untuk mencapai tujuan pengajaran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode mengajar merupakan suatu teknik atau cara yang ditempuh guru dalam menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa dan melibatkan interaksi yang aktif dan dinamis antara guru dan siswa, sehingga tujuan belajar yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Stategi Inquiry dan Discovery
Inquiry berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan. Strategi inquiry berarti suatu rangkaian belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Sasaran utama dalam kegiatan belajar mengajar strategi ini ialah :
       Keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar. Kegiatan belajar disini adalah kegiatan mental intelektual dan social emosional.
       Keterarahan kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pengajaran.
       Mengembangkan sikap percaya pada diri sendiri (self belief) pada diri siswa tentang apa yang ditemukan dalam proses inquiry.

Untuk menyusun strategi yang terarah pada sasaran tersebut perlu diperhatikan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa dapat berinquiry secara maksimal. Joyce mengemukakan kondisi-kondisi umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inquiry bagi siswa. Kondisi tersebut ialah :
a.     Aspek social didalam kelas dan suasana terbuka yang mengundang siswa bediskusi. Dimana setiap siswa tidak merasakan adanya tekanan atau hambatan untuk mengemukakan pendapatnya. Adanya rasa takut, atau rendah diri, atau merasa malu dan sebagainya, baik terhadap teman, siswa maupun terhadap guru adalah faktor – faktor yang menghambat terciptanya suasana bebas dikelas.
b.     Inquiry berfokus pada hipotesis.
c.      Penggunaan fakta sebagai evidensi. Didalam kelas dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta sebagaimana dituntut dalam pengujian hipotesis pada umumnya.

Untuk menciptakan kondisi seperti itu, maka peranan guru sangat menentukan. Guru tidak lagi berperan sebagai pemberi informasi dan siswa sebagai penerima informasi, sekalipun hal itu sangat diperlukan. Peranan utama guru dalam menciptakan kondisi inquiry adalah :
1.     Motifator, yang memberi rangsangan supaya siswa aktif dan gairah berfikir.
2.     Fasilitator, yang menunjukan jalan keluar jika ada hambatan dalam proses berfikir siswa.
3.     Penanya, untuk menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka perbuat dan memberi keyakinan pada diri sendiri.
4.     Administrator, yang bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan didalam kelas.
5.     Pengarah, yang memimpin arus kegiatan berfikir siswa pada tujuan yang diharapkan.
6.     Manejer, yang mengelola sumber belajar, waktu, dan organisasi kelas.
7.     Rewarder, yang memberi penghargaan pada prestasi yang dicapai dalam rangka penigkatan semangat heuristic pada siswa.
Supaya guru dapat melakukan peranannya secara efektif maka pengenalan kemampuan siswa sangat diperlukan, terutama cara berfikirnya, cara mereka menanggapi, dan sebagainya.

Asumsi-asumsi yang mendasari model inquiry ialah :
(1)  Keterampilan berfikir kritis dan berfikir dedukatif yang diperlukan berkaitan dengan pengumpulan data yang bertalian dengan kelompok hipotesis.
(2)  Keuntungan bagi siswa dari pengalaman kelompok dimana mereka berkomunikasi, berbagi tanggung jawab , dan bersama-sama mencari pengetahuan.
(3)  Kegiatan-kegiatan belajar disajikan dengan semangat berbagai inquiry dan discovery menambah motivasi dan memajukan partisipasi.

Tidak ada satu metode mengajar yang baik untuk semua pengajaran. SBM yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu itu tergantung pada kondisi masing-masing unsur yang terlibat dalam proses belajar mngajar secara factual. Kemampuan siswa, kemampuan guru, sifat materi, sumber belajar, media pengajaran, faktor logistic, tujuan yang ingin dicapai, adalah unsur – unsur pengajaran yang berbeda-beda disetiap tempat dan waktu. Mungkin untuk suatu program pengajaran pada suatu saat dipandang lebih efektif penyampaiannya dengan metode ceramah, pada saat lain mungkin diskusi kelompok, dan pada saat lain mungkin Tanya jawab. Rangkaian ini secara secara keseluruhan membentuk suatu pola yang kita sebut SBM.
SBM itu dapat kita golongkan dalam dua kutub yang ekstrem. Disatu pihak ialah SBM dimana siswa terlibat secara maksimal dalam usaha mencari dan menemukan, sedangkan pada kutub lain keterlibatan siswa sangat terbatas pada menerima informasi dimana peranan guru sangat dominan. Yang pertama disebut strategi inkuiri / discovery, dan yang kedua disebut strategi ekspositori. Dalam pembahasan kali ini kita berbicara tentang SBM inquiry yang sering disebut juga dengan discovery. Pada discovery tekanan lebih pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Inquiry juga menuntut usaha menemukan seperti itu. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa dalam discovery masalah yang dihadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru. Pada inquiry masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan didalam masalah itu melalui proses penelitian.
Tekhnik penemuan adalah terjemahan dari discovery. Menurut Sund Discovery adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Yang dimaksud dengan proses mental tersebut antara lain ialah :
-        Mengamati                             -   membuat kesimpulan
-        Mencerna                                -   dan sebagianya.
-        mengerti
-        menggolong-golongkan
-        membuat dugaan
-        mengukur
Suatu konsep misalnya : segitiga, panas, demokrasi dan sebagainya, sedang yang dimaksud dengan prinsip antara lain adalah : logam apabila dipanaskan akan mengembang. Dalam tekhnik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan intruksi.
Penggunaan tekhnik discovery ini guru berusaha meningkatkan aktifitas siswa dalam proses belajar mengajar. Maka tekhnik ini memiliki keunggulan sebagai berikut :
-        Tekhnik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan ; memperbanyak kesiapan ; serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif / pengenalan siswa.
-        Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi / individual sehingga dapat kokoh / mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut.
-        Dapat membangkitkan kegairahan belajar para siswa.
-        Tekhnik ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
-        Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat.
-        Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah keparcayaan pada diri sendiri dengan proses penemuan sendiri.
-        Strategi itu berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar saja ; membantu bila diperlukan.
 Walaupun demikian baiknya tekhnik ini, masih ada pula kelemahan yang perlu diperhatikan, ialah :
-        para siswa harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk secara belajar ini. Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik.
-        Bila kelas terlalu besar penggunaan tekhnik ini akan kurang berhasil.
-        Bagi guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran tradisional mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan tekhnik penemuan.
-        Dengan tekhnik ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini terlalu mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan perkembangan / pembentukan sikap dan keterampilan bagi siswa.
-        Tekhnik ini mungkin tidak memberikan kesempatan untuk berfikir secara kreatif.

Dr. J. Richard dan asistennya mencoba self learning siswa ( belajar sendiri ) itu, sehingga situasi belajar mengajar berpindah dari situasi teacher dominated learning menjadi situasi student dominated learning. Dengan menggunakan discovery learning, ialah suatu cara mengajar yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan diskusi, seminar, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri.
Pendekatan inquiry / discovery ini bertolak dari pandangan bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam belajar, mempunyai kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Proses pembelajaran harus dipandang sebagai stimulus yang dapat menantang siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Peranan guru lebih banyak menempatkan diri sebagai pembimbing atau pemimpin belajar dan fasilitator belajar. Dengan demikian, siswa lebih banyak melakukan kegiatan sendiri atau dalam bentuk kelompok memecahkan permasalahan dengan bimbingan guru.
Pendekatan “ inquiry “ merupakan pendekatan mengajar yang berusaha meletakkan dasar dan mengembangkan cara berfikir ilmiah. Pendekatan ini menempatkan siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kekreatifan dalam pemecahan masalah. Siswa betul-betul ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pendekatan “ inquiry “ adalah pembimbing belajar dan fasilitator belajar. Tugas utama guru adalah memilih masalah yang perlu dilontarkan kepada kelas untuk dipecahkan oleh siswa sendiri. Tugas berikutnya dari guru adalah menyediakan sumber belajar bagi siswa dalam rangka pemecahan masalah. Sudah barang tentu bimbingan dan pengawasan dari guru masih tetap diperlukan, namun campur tangan atau intervensi terhadap kegiatan siswa dalam pemecahan masalah, harus dikurangi.
Pendekatan inquiry dalam mengajar termasuk pendekatan modern, yang sangat didambakan untuk dilaksanakan disetiap sekolah. Adanya tuduhan bahwa sekolah menciptakan kultur bisu, tidak akan terjadi apabila pendekatan ini digunakan. Pendekatan inquiry dapat dilaksanakan apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
(a)   guru harus terampil memilih persoalan yang relevan untuk diajukan kepada kelas (persoalan bersumber dari bahan pelajaran yang menantang siswa/problematika) dan sesuai dengan daya nalar siswa,
(b)  guru harus terampil menumbuhkan motivasi belajar siswa dan menciptakan situasi belajar yang menyenangkan,
(c)   adanya fasilitas dan sumber belajar yang cukup,
(d)  adanya kebebasan siswa untuk berpendapat, berkarya, berdiskusi,
(e)   partisipasi setiap siswa dalam setiap kegiatan belajar,
(f)   guru tidak banyak campur tangan dan intervensi terhadap kegiatan siswa.

Ada lima tahapan / langkah yang ditempuh dalam melaksanakan pendekatan inquiry / discovery yakni ;
(a)   perumusan masalah untuk dipecahkan siswa,
(b)  menetapkan jawaban sementara atau lebih dikenal dengan istilah hipotesis,
(c)   siswa mencari informasi, data, fakta yang diperlukan untuk menjawab permasalahan / hipotesis,
(d)  menarik kesimpulan jawaban atau generalisasi,
(e)   mengaplikasikan kesimpulan / generalisasi dalam situasi baru.

B.    PENGAJARAN DISCOVERY DALAM KELAS
Metode mengajar yang biasa digunakan guru dalam pendekatan ini antara lain metode diskusi dan pemberian tugas. Diskusi untuk memecahkan permasalahan dilakukan oleh sekelompok kecil siswa (antara 3-5 orang ) dengan arahan dan bimbingan guru. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat tatap muka atau pada saat kegiatan terjadwal. Dengan demikian dalam pendekatan inquiry / discovery model komunikasi yang digunakan bukan komunikasi satu arah atau komunikasi sebagai aksi tapi komunikasi banyak arah atau komunikasi sebagai tranaksi. Studi dan penelitian terhadap kedua pendekatan ini telah banyak dilakukan. Misalnya studi yang dilakukan oleh University of Philipine sampai kepada kesimpulan bahwa pendekatan ekspositeri dan inquiry tidak berbeda keaktifannya dalam mencapai hasil belajar yang bersifat informasi, fakta dan konsep, tetapi berbeda secara signifikan dalam mencapai keterampilan berpikir, pendekatan inquiry lebih efektif daripada pendekatan ekspositeri.

Adapun model inquiry ini dilaksanakan oleh kelompok itu dengan langkah-langkah sebagai berikut :
(1)  Membentuk kelompok-kelompok inquiry. Masing-masing kelompok dibentuk berdasarkan rentang intelektual dan keterampilan-keterampilan social.
(2)  Memperkenalkan topic-topik inquiry kepada semua kelompok. Tiap kelompok diharapkan memahamidan berminat mempelajarinya.
(3)  Membentuk proposisi tentang kebijakan yang bertalian dengan topic, yakni pernyataan apa yang harus dikerjakan. Mungkin terdapat satu atau lebih solusi yang diusulkan terhadap masalah pokok.
(4)  Merumuskan semua istilah yang terkandung dalam proposisi kebijakan.
(5)  Menyelidik validitas logis dan konsistensi internal pada proposisi dan unsur-unsur penunjangnya.
(6)  Mengumpulkan evidensi (bukti) untuk menunjang unsur-unsur / isi proposisi.
(7)  Menganalisis solusi-solusi yang diusulkan dan mencari posisi kelompok.
(8)  Menilai proses kelompok.

Strategi belajar discovery paling baik dilaksanakan dalam kelompok belajar yang kecil. Namun dapat juga dilaksanakan dalam kelompok belajar yang besar. Kendatipun tidak semua siswa dapat terlibat dalam proses discovery, namun pendekatan discovery dapat memberikan mafaat bagi siswa yang belajar. Pendekatan ini dapat dilaksanakan dalam bentuk komunikasi dua arah, bergantung pada besarnya kelas.
  1. Sistem Satu Arah
Pendekatan satu arah berdasarkan penyajian satu arah (penuangan/exposition) yang dilakukan guru. Struktur penyajian dalam bentuk usaha merangsang siswa melakukan proses discovery di depan kelas. Guru mengajukan suatu masalah, dan kemudian memecahkan masalah tersebut melalui langkah-langkah discovery. Caranya adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada kelas, memberikan kesempatan kepada kelas untuk melakukan refleksi. Selanjutnya guru menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya itu. Dalam prosedur ini guru tidak menentukan / menunjukkan aturan-aturan yang harus digunakan oleh siswa, tetapi dengan pertanyaan-pertanyaan guru mengundang siswa untuk mencari aturan-aturan yang harus diperbuatnya. Pemecahan masalah berlangsung selangkah demi selangkah dalam urutan yang ditemukan sendiri oleh siswa. Guru mengharapkan agar siswa secara keseluruhan berhasil melibatkan dirinya dalam proses pemecahan masalah, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya secara reflektif. Dalam keadaan ini, sesungguhnya tidak ada jaminan bahwa adanya penyajian oleh guru. Penggunaan discovery dalam kelompok kecil sangat bergantung pada kemampuan dan pengalaman guru sendiri, serta waktu dan kemampuan mengantisipasi kesulitan siswa.
  1. Sistem Dua Arah (Discovery Terbimbing)
Sistem dua arah melibatkan siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan guru. Siswa melakukan discovery, sedangkan guru membimbing mereka kearah yang tepat/benar. Gaya pengajaran demikian, oleh Cagne disebut guide discovery, sekalipun didalam kelas yang terdiri dari 20-30 orang siswa. Hanya beberapa orang saja yang benar-benar melakukan discovery, sedangkan yang lainnya berpartisipasi dalam proses discovery misalnya dalam system ceramah reflektif. Dalam kelompok yang lebih kecil, guru dapat melibatkan hampir semua siswa dalam proses itu. Dalam system ini, guru perlu memiliki keterampilan memberikan bimbingan, yakni mendiagnosis kesulitan-kesulitan siswa dan memberikan bantuan dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi. Namun demikian, tidak berarti guru menggunakan metode ceramah reflektif sebagaimana halnya pada strategi di atas.


C.    STRATEGI INQUIRY DAN DIMENSI BERFIKIR
Untuk mengenal berbagai cara berfikir siswa, terutama dalam mereka berinquiry, perlu kita kenal beberapa cara berfikir pada umumnya.
1.     Berfikir Urutan, apabila misalnya guru menghadapkan kepada siswa tiga bilangan berturut-turut 2, 4, 6, maka siswa dapat menyebut bahwa bilangan pada urutan ke-4 adalah 8 dan yang ke-5 adalah 10.
2.     Berfikir Bertentangan, jika kepada siswa dihadapkan pasangan kata-kata : panas-dingin dan kecil-besar, maka mereka dapat menyebut pasangan dari kata-kata : siang-…, malam-…, dan seterusnya dengan benar.
3.     Berfikir Asosiasi, jika kepada siswa dihadapkan pasangan kata-kata : besi-berat, kapas-ringan, maka mereka dapat menyebut pasangan dari kata murid-… dengan benar.
4.     Berfikir Kausalitas (sebab-akibat), kalau kepada siswa dihadapkan pasangan kata : rajin-pandai dan mendung-hujan, maka mereka dapat menyebut pasangan dari kata : menganggur-… dengan benar.
5.     Berfikir Konsentris, berfikir konsentris menuntut kemampuan intelektual yang lebih tinggi dari keempat cara berfikir diatas. Berfikir konsentris terarah pad mencari hakikat dari sesuatu yang bersifat umum (lihat ilustrasi).
6.     Berfikir Konvergen, berpangkal dari unsur-unsur yang terpisah-pisah (berfikiran luas)
7.     Befikir divergen, bertitik tolak dari suatu peristiwa menuju keberbagai kemungkinan, (pengembangan berfikir).
8.     Berfikir Silogisme, bertitik tolak pada premis mayor yang tidak diragukan kebenarannya, Contoh : semua manusia akan mati, Si polan adalah manusia, Si polan akan mati.

D.    PROSES INQUIRY
Inquiry tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional dan pengembangan keterampilan. Pada hakekatnya inquiry ini merupakan suatu proses. Proses ini bermula dari merumuskan masalah, mengembangkan hipotesis, dan menarik kesimpulan sementara, menguji kesimpulan sementara supaya sampai pada kesimpulan yang taraf tertentu diyakini oleh peserta didik yang bersangkutan.
Kemampuan – kemampuan yang dituntut pada setiap tahap dalam proses inqury adalah :
  1. Merumuskan masalah, kemampuan yang dituntut : kesadaran terhadap masalah, melihat pentingnya masalah, merumuskan masalah.
  2. Merumuskan jawaban sementara (hipotesis), kemampuan yang dituntut : menguji dan menggolongkan jenis data yang dapat diperoleh, melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis, merumuskan hipotesis.
  3. Menguji jawaban tentatif, kemampuan yang dituntut : Merakit Peristiwa (mengidentifikasikan peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, mengevaluasi data), Menyusun Data (mentranslasikan data, menginterpretasikan data, mengklasifikasikan), Analisis Data (melihat hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, mengidentifikasikan tren, sekuensi dan keteraturan).
  4. Menarik Kesimpulan, mencari pola dan makna hubungan dan merumuskan kesimpulan.
  5. Menerapkan kesimpulan dan generalisasi.
E.    STRATEGI INQUIRY DAN TEKHNIK BERTANYA
SBM inquiry dapat dilaksanakan dengan serbagai metode mengajar, seperti metode Tanya jawab, diskusi, problem solving, studi kasus, penelitian mandiri dan sebagainya. Salah satu tekhnik yang banyak dipakai dalam berbagai metode mengajar ialah tekhnik bertanya. Karena teknik ini digunakan secara luas, maka perlu dibicarakan secara khusus penggunaan teknik bertanya itu dalam hubungannya dengan strategi inquiry.
Pentingnya Bertanya
Pentingnya bertanya itu dapat kita lihat pada beberapa pernyataan, antara lain :
(1)   jantung strategi belajar yang efektif terletak pada pertanyaan yang diajukan oleh guru (Fraenkel)
(2)   dari sekian banyak metode pengajaran, yang paling banyak dipakai ialah bertanya (Bank)
(3)   bertanya adalah salah satu teknik yang paling tua dan paling baik (Clark)
(4)   mengajar itu adalah bertanya (Dewey)
(5)   pertanyaan-pertanyaan adalah unsur utama dalam strategi pengajaran, merupakan kunci permainan bahasa dalam pengajaran (Hyman)
Fungsi bertanya
Pentingnya bertanya dalam kegiatan belajar mengajar dapat kita pahami kalau diperhatikan peranannya sebagai berikut :
(1)  melengkapi kemampuan berceramah
(2)  mengubah kemampuan berceramah
(3)  meningkatkan kadar CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif)
(4)  Sikap inquiry bertitik tolak pada bertanya
(5)  Mengubah persepsi yang keliru terhadap bertanya
Dalam peranan yang demikian itu kegiatan bertanya berfungsi untuk :
(1)  Mengembangkan minat dan keingintahuan
(2)  Memusatkan perhatian pada pokok masalah
(3)  Mendiagnosis kesulitan belajar
(4)  Meningkatkan kadar CBSA
(5)  Kemampuan memahami informasi
(6)  Kemampuan mengemukakan pendapat
(7)  Mengukur hasil belajar

Untuk mengembangkan pertanyaan yang efektif sesuai dengan fungsi tersebut, beberapa hal yang perlu diperhatikan ialah :
(1)   kehangatan dan antusias. Bertanya dan menjawab dilakukan dalam situasi yang cukup hangat dan antusias
(2)   beberapa kebiasaan yang perlu dihindari dalam mengajukan pertanyaan ialah :
a.      mengulang pertanyaan
b.     mengulang jawaban siswa
c.      menjawab pertanyaan sendiri
d.     memancing jawaban serentak
e.      pertanyaan ganda
f.      menentukan siswa tertentu
Prinsip-prinsip Bertanya Dasar
Bertanya sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu :
(1)  Bertanya dasar, bertanya untuk mengembangkan kemampuan berfikir dasar. Dihubungkan dengan taksonomi Bloom, kemampuan dasar ini terdiri atas pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi. (jelas, singkat, acuan, pemusatan, giliran (horizontal), penyebaran, waktu berfikir, tuntunan).
(2)  Bertanya lanjut, bertanya untuk mengembangkan kemampuan ini meliputi analisis, sintesis dan evaluasi. Tujuannya :
a.      mengembangkan kemampuan untuk menemukan, mengorganisasikan, dan menilai informasi.
b.     mengembangkan kemampuan untuk mengungkapkan pertanyaan.
c.      Membangkitkan ide.
d.     Mendorong keinginan berpretase.
Prinsip-prinsipnya :
a.      sama dengan bertanya dasar
b.     waktu berfikir diberi agak lama
c.      butir-butir pertanyaan perlu disiapkan terlebih dahulu
d.     menilai apakah pertanyaan relevan dan komprehensif.

Jenis-Jenis Metode Penemuan (Discovery-Inquiry)
Moh. Amin (Sudirman N, 1992) menguraikan tentang tujuh jenis inquiry-discovery yang dapat diikuti sebagai berikut :
  1. Guided Discovery-Inquiry Lab. Lesson
Sebagian perencanaan dibuat oleh guru.Selain itu guru menyediakan kesempatan bimbingan atau petunjuk yang cukup luas kepada siswa.Dalam hal ini siswa tidak merumuskan problema, sementara petunjuk yang cukup luas tentang bagaimana menyusun dan mencatat diberikan oleh guru.
2.      Modified Discovery-Inquiry
Guru hanya memberikan problema saja. Biasanya disediakan pula bahan atau alat-alat yang diperlukan, kemudian siswa diundang untuk memecahkannya melalui pengamatan, eksplorasi dan atau melalui prosedur penelitian untuk memperoleh jawabannya.Pemecahan masalah dilakukan atas inisiatif dan caranya sendiri secara berkelompok atau perseorangan. Guru berperan sebagai pendorong, nara sumber, dan memberikan bantuan yang diperlukan untuk menjamin kelancaran proses belajar siswa.
3.      Free Inquiry
Kegiatan free inquiry dilakukan setelah siswa mempelajarai dan mengerti bagaimana memecahkan suatu problema dan telah memperoleh pengetahuan cukup tentang bidang studi tertentu serta telah melakukan modified discovery-inquiry. Dalam metode ini siswa harus mengidentifikasi dan merumuskan macam problema yang akan dipelajari atau dipecahkan.
4.      Invitation Into Inquiry
Siswa dilibatkan dalam proses pemecahan problema sebagaimana cara-cara yang lazim diikuti scientist. Suatu undangan (invitation) memberikan suatu problema kepada siswa, dan melalui pertanyaan masalah yang telah direncanakan dengan hati-hati mengundang siswa untuk melakukan beberapa kegiatan atau kalau mungkin, semua kegiatan sebagai berikut : merancang eksperimen, merumuskan hipotesis, menetapkan kontrol, menentukan sebab akibat, menginterpretasi datadan membuat grafik
5.      Inquiry Role Approach
Inquiry Role Approach
merupakan kegiatan proses belajar yang melibatkan siswa dalam tim-tim yang masing-masing terdiri tas empat anggota untuk memecahkan invitation into inquiry. Masing-masing anggota tim diberi tugas suatu peranan yang berbeda-beda sebagai berikut : koodinator tim, penasihat teknis, pencatat data dan evaluator proses
6.      Pictorial Riddle
Pendekatan dengan menggunakan pictorial riddle adalah salah satu teknik atau metode untuk mengembangkan motivasi dan minat siswa di dalam diskusi kelompok kecil maupun besar. Gambar atau peragaan, peragaan, atau situasi yang sesungguhnya dapat digunakan untuk meningkatkan cara berfikir kritis dan kreatif siswa. Suatu ridlle biasanya berupa gambar di papan tulis, papan poster, atau diproyeksikan dari suatu trasparansi, kemudian guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan ridlle itu.
7.      Synectics Lesson
Pada dasarnya syntetics memusatkan pada keterlibatan siswa untyuk membuat berbagai macam bentuk metafora (kiasan) supaya dapat membuka intelegensinya dan mengembangkan kreativitasnya.Hal ini dapat dilaksankan karena metafora dapat membantu dalam melepaskan “ikatan struktur mental” yang melekat kuat dalam memandang suatu problema sehingga dapat menunjang timbulnya ide-ide kreatif.
Walaupun dalam praktiknya aplikasi metode pembelajaran inquiry sangat beragam, tergantung pada situasi dan kondisi sekolah, namun dapat disebutkan bahwa pembelajaran dengan metode inquiry memiliki 5 komponen yang umum yaitu Question, Student Engangement, Cooperative Interaction, Performance Evaluation, dan Variety of Resources (Garton, 2005).
Question.Pembelajaran biasanya dimulai dengan sebuah pertanyaan pembuka yang memancing rasa ingin tahu siswa dan atau kekaguman siswa akan suatu fenomena. Siswa diberi kesempatan untuk bertanya, yang dimaksudkan sebagai pengarah ke pertanyaan inti yang akan dipecahkan oleh siswa. Selanjutnya, guru menyampaikan pertanyaan inti atau masalah inti yang harus dipecahkan oleh siswa.Untuk menjawab pertanyaan ini – sesuai dengan Taxonomy Bloom – siswa dituntut untuk melakukan beberapa langkah seperti evaluasi, sintesis, dan analisis.Jawaban dari pertanyaan inti tidak dapat ditemukan misalnya di dalam buku teks, melainkan harus dibuat atau dikonstruksi.
Student Engangement.Dalam metode inquiry, keterlibatan aktif siswa merupakan suatu keharusan sedangkan peran guru adalah sebagai fasilitator. Siswa bukan secara pasif menuliskan jawaban pertanyaan pada kolom isian atau menjawab soal-soal pada akhir bab sebuah buku, melainkan dituntut terlibat dalam menciptakan sebuah produk yang menunjukkan pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajari atau dalam melakukan sebuah investigasi.
Cooperative Interaction.Siswa diminta untuk berkomunikasi, bekerja berpasangan atau dalam kelompok, dan mendiskusikan berbagai gagasan.Dalam hal ini, siswa bukan sedang berkompetisi.Jawaban dari permasalahan yang diajukan guru dapat muncul dalam berbagai bentuk, dan mungkin saja semua jawaban benar.
Performance Evaluation.Dalam menjawab permasalahan, biasanya siswa diminta untuk membuat sebuah produk yang dapat menggambarkan pengetahuannya mengenai permasalahan yang sedang dipecahkan. Bentuk produk ini dapat berupa slide presentasi, grafik, poster, karangan, dan lain-lain. Melalui produk-produk ini guru melakukan evaluasi.
Variety of Resources.Siswa dapat menggunakan bermacam-macam sumber belajar, misalnya buku teks, website, televisi, video, poster, wawancara dengan ahli, dan lain sebagainya.
B. Teori – teori Motivasi
Motivasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang memberikan energi bagi seseorang dan apa yang memberikan arah bagi aktivitasnya. Motivasi kadang-kadang dibandingkan dengan mesin dan kemudi pada mobil.Energi dan arah inilah yang menjadi inti dari konsep tentang motivasi. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai (value), sikap (attitude), aspirasi, dan insentif (Gage & Berliner, 1984).  Dengan pengertian istilah motivasi seperti tersebut di atas, kita dapat mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang memberikan energiuntuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas belajar siswa.
Secara umum, teori-teori tentang motivasi dapat dikelompokkan berdasarkan sudut pandangnya, yaitu behavioral, cognitive, psychoanalytic, humanistic, social learning, dan social cognition.
1. Teori-teori Behavioral
Robert M. Yerkes dan J.D. Dodson, pada tahun 1908 menyampaikan Optimal Arousal Theory atau teori tentang tingkat motivasi optimal, yang menggambarkan hubungan empiris antara rangsangan (arousal) dan kinerja (performance). Teori ini menyatakan bahwa kinerja meningkat sesuai dengan rangsangan tetapi hanya sampai pada titik tertentu; ketika tingkat rangsangan menjadi terlalu tinggi, kinerja justru menurun, sehingga disimpulkan terdapat rangsangan optimal untuk suatu aktivitas tertentu (Yerkes & Dodson, 1908).
Pada tahun 1943, Clark Hull mengemukakan Drive Reduction Theory yang menyatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang muncul mungkin bermacam-macam bentuknya (Budiningsih, 2005). Masih menurut Hull, suatu kebutuhan biologis pada makhluk hidup menghasilkan suatu dorongan (drive) untuk melakukan aktivitas memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa makhluk hidup ini akan melakukan respon berupa reduksi kebutuhan (need reduction response). Menurut teori Hull, dorongan (motivators of performance) dan reinforcement bekerja bersama-sama untuk membantu makhluk hidup mendapatkan respon yang sesuai (Wortman, 2004). Lebih jauh Hull merumuskan teorinya dalam bentuk persamaan matematis antara drive (energi) dan habit (arah) sebagai penentu dari behaviour (perilaku) dalam bentuk:
Behaviour = Drive × Habit
Karena hubungan dalam persamaan tersebut berbentuk perkalian, maka ketika drive = 0, makhluk hidup tidak akan bereaksi sama sekali, walaupun habit yang diberikan sangat kuat dan jelas (Berliner & Calfee, 1996).
Pada periode 1935 – 1960, Kurt Lewin mengajukan Field Theory yang dipengaruhi oleh prinsip dasar psikologi Gestalt. Lewin menyatakan bahwa perilaku ditentukan baik oleh person (P) maupun oleh environment (E):
Behaviour = f(P, E)
Menurut Lewin, besar gaya motivasional pada seseorang untuk mencapai suatu tujuan yang sesuai dengan lingkungannya ditentukan oleh tiga faktor: tension (t) atau besar kecilnya kebutuhan, valensi (G ) atau sifat objek tujuan, dan jarak psikologis orang tersebut dari tujuan (e).
Force = f(t, G)/e
Dalam persamaan Lewin di atas, jarak psikologis berbanding terbalik dengan besar gaya (motivasi), sehingga semakin dekat seseorang dengan tujuannya, semakin besar gaya motivasinya. Sebagai contoh, seorang pelari yang sudah kelelahan melakukan sprint ketika ia melihat atau mendekati garis finish. Teori Lewin memandang motivasi sebagai tension yang menggerakkan seseorang untuk mencapai tujuannya dari jarak psikologis yang bervariasi (Berliner & Calfee, 1996).
2. Teori-teori Cognitive
Pada tahun 1957 Leon Festinger mengajukan Cognitive Dissonance Theory yang menyatakan jika terdapat ketidakcocokan antara dua keyakinan, dua tindakan, atau antara keyakinan dan tindakan, maka kita akan bereaksi untuk menyelesaikan konflik dan ketidakcocokan ini. Implikasi dari hal ini adalah bahwa jika kita dapat menciptakan ketidakcocokan dalam jumlah tertentu, ini akan menyebabkan seseorang mengubah perilakunya, yang kemudian mengubah pola pikirnya, dan selanjutnya mengubah lebih jauh perilakunya (Huitt, 2001).
Teori kedua yang termasuk dalam teori-teori cognitive adalah Atribution Theory yang dikemukakan oleh Fritz Heider (1958), Harold Kelley (1967, 1971), dan Bernard Weiner (1985, 1986). Teori ini menyatakan bahwa setiap individu mencoba menjelaskan kesuksesan atau kegagalan diri sendiri atau orang lain dengan cara menawarkan attribut-atribut tertentu. Atribut ini dapat bersifat internal maupun eksternal dan terkontrol maupun yang tidak terkontrol seperti tampak pada diagram berikut.

Internal
Eksternal
Tidak terkontrol
Kemampuan (ability)
Keberuntungan (luck)
Terkontrol
Usaha (effort)
Tingkat kesulitan tugas
Dalam sebuah pembelajaran, sangat penting untuk membantu siswa mengembangkan atribut-diri usaha (internal, terkontrol). Jika siswa memiliki atribut kemampuan (internal, tak terkontrol), maka begitu siswa mengalami kesulitan dalam belajar, siswa akan menunjukkan perilaku belajar yang melemah (Huitt, 2001).
Pada tahun 1964, Vroom mengajukan Expectancy Theoryyang secara matematis dituliskan dalam persamaan:
Motivation = Perasaan berpeluang sukses (expectancy) × Hubungan antara sukses  dan reward (instrumentality) × Nilai dari tujuan (Value)
Karena dalam rumus ini yang digunakan adalah perkalian dari tiga variabel, maka jika salah satu variabel rendah, motivasi juga akan rendah. Oleh karena itu, ketiga variabel tersebut harus selalu ada supaya terdapat motivasi. Dengan kata lain, jika seseorang merasa tidak percaya bahwa ia dapat sukses pada suatu proses belajar atau ia tidak melihat hubungan antara aktivitasnya dengan kesuksesan atau ia tidak menganggap tujuan belajar yang dicapainya bernilai, maka kecil kemungkinan bahwa ia akan terlibat dalam aktivitas belajar.
3. Teori-teori Psychoanalytic
Salah satu teori yang sangat terkenal dalam kelompok teori ini adalah Psychoanalytic Theory (Psychosexual Theory) yang dikemukakan oleh Freud (1856 – 1939) yang menyatakan bahwa semua tindakan atau perilaku merupakan hasil dari naluri (instinct) biologis internal yang terdiri dari dua kategori, yaitu hidup (sexual) dan mati (aggression). Erik Erikson yang merupakan murid Freud yang menentang pendapat Freud, menyatakan dalam Theory of Socioemotional Development (atau Psychosocial Theory) bahwa yang paling mendorong perilaku manusia dan pengembangan pribadi adalah interaksi sosial (Huitt, 1997).
4. Teori-teori Humanistic
Teori yang sangat berpengaruh dalam teori humanistic ini adalah Theory of Human Motivation yang dikembangkan oleh Abraham Maslow (1954). Maslow mengemukakan gagasan hirarki kebutuhan manusia, yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu deficiency needs dan growth needs. Deficiency needs meliputi (dari urutan paling bawah) kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki, dan kebutuhan akan penghargaan. Dalam deficiency needs ini, kebutuhan yang lebih bawah harus dipenuhi lebih dulu sebelum ke kebutuhan di level berikutnya. Growth needs meliputi kebutuhan kognitif, kebutuhan estetik, kebutuhan aktualisasi diri, dan kebutuhan self-transcendence. Menurut Maslow, manusia hanya dapat bergerak ke growth needs jika dan hanya jika deficiency needs sudah terpenuhi. Hirarki kebutuhan Maslow merupakan cara yang menarik untuk melihat hubungan antara motif manusia dan kesempatan yang disediakan oleh lingkungan (Atkinson, 1983).
Teori Maslow mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut yang mencoba mengembangkan sebuah teori tentang motivasi yang memasukkan semua faktor yang mempengaruhi motivasi ke dalam satu model (Grand Theory of Motivation), misalnya seperti yang diusulkan oleh Leonard, Beauvais, dan Scholl (1995). Menurut model ini, terdapat 5 faktor yang merupakan sumber motivasi, yaitu 1)instrumental motivation (reward dan punishment), 2)Intrinsic Process Motivation (kegembiraan, senang, kenikmatan), 3)Goal Internalization (nilai-nilai tujuan), 4)Internal Self-Concept yang didasarkan pada motivasi, dan 5) External Self-Concept yang didasarkan pada motivasi (Leonard, et.al, 1995).
5. Teori-teori Social Learning
Social Learning Theory (1954) yang diajukan oleh Julian Rotter menaruh perhatian pada apa yang dipilih seseorang ketika dihadapkan pada sejumlah alternatif bagaimana akan bertindak. Untuk menjelaskan pilihan, atau arah tindakan, Rotter mencoba menggabungkan dua pendekatan utama dalam psikologi, yaitu pendekatan stimulus-response atau reinforcement dan pendekatan cognitive atau field. Menurut Rotter, motivasi merupakan fungsi dari expectation dan nilai reinforcement. Nilai reinforcement merujuk pada tingkat preferensi terhadap reinforcement tertentu (Berliner & Calfee, 1996).
6. Teori Social Cognition
Tokoh dari Social Cognition Theory adalah Albert Bandura.Melalui berbagai eksperimen Bandura dapat menunjukkan bahwa penerapan konsekuensi tidak diperlukan agar pembelajaran terjadi. Pembelajaran dapat terjadi melalui proses sederhana dengan mengamati aktivitas orang lain. Bandura menyimpulkan penemuannya dalam pola 4 langkah yang mengkombinasikan pandangan kognitif dan pandangan belajar operan, yaitu 1)Attention, memperhatikan dari lingkungan, 2)Retention, mengingat apa yang pernah dilihat atau diperoleh, 3)Reproduction, melakukan sesuatu dengan cara meniru dari apa yang dilihat, 4)Motivation, lingkungan memberikan konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku yang akan muncul lagi (reinforcement and punishment) (Huitt, 2004).
C. Teori Curiosity Berlyne
Pada tahun 1960 Berlyne mengemukakan sebuah Teori tentang Curiosity atau rasa ingin tahu. Menurut Berlyne, ketidakpastian muncul ketika kita mengalami sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau kompleks. Ini akan menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistem syaraf pusat kita.  Respon manusia ketika menghadapi suatu ketidakpastian inilah yang disebut dengan curiosity atau rasa ingin tahu. Curiosity akan mengarahkan manusia kepada perilaku yang berusaha mengurangi ketidakpastian (Gagne, 1985).
Dalam pembelajaran Sains, ketika guru melakukan demonstrasi suatu eksperimen yang memberikan hasil yang tidak terduga, hal ini akan menimbulkan konflik konseptual dalam diri siswa, dan ini akan memotivasi siswa untuk mengerti mengapa hasil eksperimen tersebut berbeda dengan apa yang dipikirkannya. Dengan demikian, keadaan ketidakpastian yang diciptakan oleh guru telah menimbulkan curiosity siswa, dan siswa akan termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian dalam dirinya tersebut. Dapat disimpulkan bahwa curiosity merupakan hal penting dalam meningkatkan motivasi.Sejarah juga membuktikan bahwa curiosity memiliki banyak peran dalam kehidupan para penemu (inventor), ilmuwan, artis, dan orang-orang yang kreatif.
Salah satu metode pembelajaran yang melibatkan curiosity siswa adalah inquiry teaching.Dalam metode ini, siswa lebih banyak ditanya daripada diberikan jawaban. Dengan mengajukan pertanyaan, bukan hanya pernyataan-pernyataan, curiosity siswa akan meningkat karena siswa mengalami ketidakpastian terhadap jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut (Gagne, 1985).
























DAFTAR PUSTAKA
  
Hamalik, Oemar, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2002.
Hamalik, Oemar, Proses Belajar Mengajar, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2003.
Roestiyah, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : Bina Aksara, 1998.
Sudjana Nana, Dasar-dasar proses belajar mengajar, Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2004.
W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : PT. Grasindo, 2002.



1.       W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : PT. Grasindo, 2002, hal, 86.
2.      Hamalik, Oemar, Proses Belajar Mengajar, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2003. Hal, 220.
3.       W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : PT. Grasindo, 2002, hal, 83.
4.      Roestiyah, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : Bina Aksara, 1998. Hal. Tanpa Halaman.
5.      Sudjana Nana, Dasar-dasar proses belajar mengajar, Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2004, hal, 154.
6.      Hamalik, Oemar, Proses Belajar Mengajar, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2003. Hal, 224.
7.      Hamalik, Oemar, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2002. Hal, 187.
8.      Ibid, Hal. 188.
9.      W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : PT. Grasindo, 2002, hal, 95.
10.  Ibid. Hal. 104.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar